SEPUCUK
SURAT KARTINI
Warna-warni layag-layang menghiasi
langit sore. Bukan layang-layang biasa, namun layang-layang harapan. Ya, layang-layang
anak desa, mereka yang akan menerbangakan mimpi anak-anak desa itu. Aku yakin
suatu saat mereka akan menjumpai mimpi mereka. Mereka tak akan berhenti berlari
dan berlari. Karena ku yakin kaki mereka sekuat kaki kijang.dan mereka tak akan berhenti berlari sebelum
mereka mendapatkan mimpi mereka. Bagaimana dengan laying laying mu disana
kawan?
Aku
melipat kertas tipis yang penuh dengan coretan tinta hitam, bukan sekedar
coretan namun sebuah pengalaman yang akan ku
bagikan pada dunia. Sebuah amplop berperangko sudah menunggu lipatan
mimpi anak desa yang ku tulis dalam sebuah surat untuk sahabat ku Laura. Ia tinggal
di sebuah kamar asrama La Sorbone, Perancis. Tak hanya iri, jika aku mengingat La
Sorbone, kesempatan yang ku dapatkan dua tahun lalu untuk melanjutkan study ku
di La Sorbone harus ku abaikan sejenak untuk menengok sejuta kisah yang
tersimpan di balik senyum riang anak-anak desa itu. Aku tak menyesal, mengabdi
pada negeri ini adalah cita-citaku dari saat perama aku belajar syair lagu
Bagimu Negeri.
Aku
menghirup dalam angin yang mengalun di padang rumput ini. Ku biarkaan mereka
membelai selembar kain tipis yang tersampir menghiasi kepalaku.
“Anak-anak ,ayo
pulang dulu,sudah maghrib!’’seruku umemanggil laskar-laskar muda Indonesia.
Mereka segera menggulung layang-layang mereka untuk sejenak dan bergegas
mengadukanya kepada yang maha penggerak hati di sembahyang maghrib mereka.
Di temani sebuah
sepeda jengki yang biasa mengantarku menyapa laskar-laskar Indonesia di sebuah
gedung menimba ilmu di pelosok kota demak.aku berjalan melewati pematang sawah
menuju gubuk singgah yang begitu mewah untukku.dindingnya dari bambu yang di
anyam dan hanya ada dua kamar tidur , untukku dan mak siti. Wanita paruh baya
ituah yang menjadikan gbuk ini begitu
mewah, mak siti lah yang menjadi sumber inspirasiku. Ia mampu menjawab seribu
satu pertanyaan yang sedang di persoalkan dunia hanya dengan satu gerak bibir.
“sabar dan
syukur, itulah kunci kehidupan.” Begitu katanya.
###
Sinar kekuningan dari balik dua gugung
yang bertumpu pada permukaan bumi, sudah mulai meninggi. Suara langkah
kaki-kaki kijang itu sudah terdengar jelas di telingaku. Setiap dentuman
langkah yang siap menantang dunia, mata mereka buat, sebulat tekat mereka
menggapai mimpi yang terbang bersama layang-layang mereka. Tangan mereka telah
siap memeluk ribuan bintang yang akan bercahaya dalam gelap zaman tanpa perlu
pancaran matahari. Bagaimana dengan bintangmu di sana kawan? Masihkah ia
bersinar?
Ku
layangkan sepucuk surat bersama dengan mimpi anak-anak desa itu. Berharap angin
akan memebawanya hingga ke La Sorbone.
“Assalamualaikum!”
ku buka kelas pagi ini dengan memohon keselamatan kepada lillahi rabbi.
“Waalaikum
salam.!” Seruan anak-anak desa itu memebuat dunia terasa bergetar di
guncangnya. Karena tak ada tabel absen, aku harus jelih mengingat 15 teman
kecilku. Ku pandang tiap sudut sudut mata mereka, semua berkilau bersiap
mengguncang dunia. Namun, satu sudut mata yang tak kuliha pagi ini. Saufa,
gadis kecil berambut merah kecoklatan itu tak ada di kelas ini. Sudah hamper
dua minngu ia tak ada di sini. Tak satupun dari anak-anak desa itu
mengetahuinya. Karena tak ada juga yang tahu di mana rumahnya.
Aku
memutuskan mencari tahu di mana rumahnya sepulang dari petualanganku bersama 14
kawanku hari ini. Ku kayuh sepedaku, menantang terik mentari yang makin
menyengat kulitku. Tiap gubuk yang ku lalui menjadi tempat singgah beberaa
pertanyaanku tentang saufa. Banyak di antara penduduk yang tak tahu siapa
saufa. Hingga pada sebuah gubuk reyot di ujung desa dekat hutan mahoni. Seorang
gadis belia duduk di ayunan kecil dari kayu, memandang lepas atusan mahoni yang
tegap berdiri mencaar langit.
“Saufa!” sapaku
mendekat. Gadis itu bergegas masuk ke dalam rumahnya. Ku sandarkan sepeda
jengkiku di tubuh mahoni dan bergegas pula menyusulnya.
Aku
menyingkap pelan selembar kain yang di umpamakannya sebagai pintu. Betapa ngilu
dan perihnya hatiku ketika tiga bayi dan tiga balita menyambut kedua
mataku.bukan adik atau keponakan
melainkan keenam manusia mungil itu adalah anak dari saufa. Gadis belia yang
usianya masih pantas duduk di bangku kelas enam sekolah dasar itu sudah memilki
enam orang anak. Rsaya ingin ku pamerkan pada dunia, betapa mata mereka
tertutup selama ini.
Tak berapa lama,
seorang wanita seusia mak siti, keluar dari petak rumah yang lain, menyapaku
dengan secuil senyum canggung.
“Bu Tiwi ya?”
sapanya.
“Iya.” Aku
meraih tangannya.
“silahkan
duduk.” Wanita itu memepersilahkanku duduk di atas ambal-ambal karung goni yang
di gelar di lantai rumahnya. Saufa memandangku kemudian menunduk.
Air
mataku mengucur ketika wanita itu mencurahkan isi hatinya sambil terbatuk-batuk
wanita itu tak sanggup menjaga ke enam anak saufa, karena kondisinya yang
sering sakit-sakitan hingga terpakasa saufa tak bisa bersekolah. Mengejar
cita-citanya menjadi nahkoda perempuan pertama di dunia, begitu yang pernah
gadis kecil itu curahkan padaku.
###
Bintang kejora yang dulu berbinar kini
seketika tak menampakkan senyum indah di malamnya. Kegelapan begitu pekat,
lebih peat dari endapan oli yang baru dibor dari tanahnya. Apakah dunia sekejam
itu? Tak terbukakah mata-mata mereka untuk hanya sekedar menengok si kecil
dengan tiga bayi dan tiga balita kembar ini?
Kini tak lagi ada layang-layang yang terbang, menerbangkan
ratusan mimpi anak-anak desa itu, tak ada lagi nada-nada indah di setiap pagi,
ketika kai-kaki kijang itu menapak pelataran bumi. Semua lenyap, senyap tanpa
bunyi. Nahkoda perempuan pertama di dunia kini terpuruk di masa kecilnya.
Kini kutinggalkan gubuk mewah mak siti menuju istana seorang
nahkoda kecil. Membantunya menjaga ke enam malaikat kecilnya, dan membiarkan
gadis belia tu menikmati masa kecilnya sebagai nahkoda kecil yang akan membawa
dunia berlayar mencari jati diri mereka. Bagaimana dengan mu kawan? Adakah
seorang nahkoda yang akan mengajakmu berarung mengelilingi dunia?
###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar